GelitikPolitik.comDewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) Nomor 34 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang. Keputusan ini semakin menjadi titik didih kemarahan publik karena pada prosesnya yang digelar diam-diam pada hari libur kerja (weekend) di hotel Fairmont, sekitar hanya 3km jaraknya dari Gedung DPR Senayan.

Gejolak kemarahan publik karena kandungan dalam Rancangan Undang-Undang TNI yang mengandung pasal yang dianggap kontroversial, termasuk pengaturan prajurit aktif bisa mengisi jabatan sipil tanpa mundur dari institusi TNI.

RUU TNI disahkan pada rapat paripurna di Gedung Nusantara II, Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (20/03). Rapat itu dipimpin langsung oleh Ketua DPR Puan Maharani yang didampingi Wakil Ketua DPR seperti Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyerahkan laporan pandangan pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani disaksikan para Wakil Ketua DPR pada Paripurna DPR RI dalam rangka pengesahan RUU TNI menjadi Undang-Undang. (Foto: Rivan Awal Lingga/Antara)

Pasal-pasal Kontoversial

Lantas, apakah benar yang dikatakan Sjafrie? Dalam UU TNI yang baru disahkan terdapat 3 pasal penting dalam perubahan UU Nomor 34 Tahun 20024 tentang TNI tersebut. Pasal itu mengatur mengenai tugas dan kewenangan serta keterlibatan TNI aktif dalam jabatan publik.

Dalam pasal 7 RUU TNI, tercantum 2 tugas baru TNI dalam operasi militer selain perang dari yang sebelumnya 14 kini menjadi 16. Salah satunya membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber.

Pasal 7 (2) huruf B:

  1. Mengatasi gerakan separatis bersenjata;
  2. Mengatasi pemberontakan bersenjata;
  3. Mengatasi aksi terorisme;
  4. Mengamankan Wilayah perbatasan;
  5. Mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis;
  6. Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri;
  7. Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya;
  8. Memberdayakan Wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta;
  9. Membantu tugas pemerintah di daerah:
  10. Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang;
  11. Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia;
  12. Membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan;
  13. Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakanaan;
  14. Membantu Pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan;
  15. Membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber; dan
  16. Membantu dalam melindungan dan menyelamatkan Warga Negara serta kepentingan nasional di luar negeri.

Pasal 7 (4)

Pelaksanaan operasi militer selain perang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, kecuali untuk ayat (2) huruf b angka 10.

TNI Aktif Bisa Duduki Jabatan Sipil

Pada pasal 47, ada penambahan 4 posisi jabatan sipil yang bisa diisi oleh TNI aktif dari yang sebelumnya berjumlah 10 kini menjadi 14.

Penambahan 4 kementerian/lembaga ini diantaranya adalah Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Badan Penanggulangan Bencana, Badan Penanggulangan Terorisme, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer).

Masa Usia Pensiun Diperpanjang

Dalam Pasal 53 RUU TNI mengubah batas usia pensiun prajurit yang diatur dalam ayat (2) dengan batas usia pensiun yang variatif berdasarkan pangkat dan jabatan.

  1. Bintara dan Tamtama maksimal 55 tahun
  2. Perwira sampai dengan pangkat Kolonel maksimal 58 tahun
  3. Perwira tinggi bintang 1 maksimal 60 tahun
  4. Perwira tinggi bintang 2 maksimal 61 tahun
  5. Perwira tinggi bintang 3 maksimal 62 tahun.

Khusus untuk perwira tinggi bintang 4, batas usia pensiun maksumal 63 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 2 kali atau 2 tahun sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Demonstrasi tolak RUU TNI di Bandung, Jawa Barat, Kamis (20/03). (Foto: BBC Indonesia)

TNI Kembali Dwifungsi?

Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Syamsudin yang juga hadir pada agenda rapat tersebut menegaskan bahwa tidak ada wajib militer dalam RUU TNI yang sudah disahkan. Dia juga memastikan tidak ada upaya mengembalikan dwifungsi TNI.

“Jadi tidak ada wajib militer di Indonesia lagi, tidak ada dwifungsi dwifungsi lagi, jangankan jasad, arwahnya pun sudah tidak ada,” kata Sjafire di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Kamis (20/03) dilansir detik.com.

Dia juga menegaskan bahwa tidak ada prajurit aktif yang dapat mengisi jabatan di luar 14 kementerian/lembaga yang telah diatur dalam UU TNI. Sjafrie meminta masyarakat tak khawatir anggota TNI aktif mengisi jabatan di BUMN.

“Tidak ada (prajurit aktif di Agrinas BUMN), semua, mulai Bulog, semua purnawirawan, jadi tenang saja ya. Nggak usah khawatirlah,” tambahnya.

Sementara itu, Komnas HAM menolak RUU TNI yang baru saja disahkan itu. Salah satu yang paling disorot adalah Pasal 47 ayat (2) yang mengatur perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit TNI aktif. Komnas HAM menilai bahwa pasal itu beresiko menghidupkan kembali dwifungsi ABRI.

“Perubahan Pasal 47 ayat (2) beresiko menghidupkan kembali praktek dwifungsi TNI yang bertentangan dengan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia dan prinsip superamasi sipil dalam negara demokrasi,” ujar Koordinator Sub-Komisi Pemajuan HAM Anis Hidayah dalam konferensi pers, Rabu (19/03).

Hal senada juga disampaikan oleh putri sulung almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Alissa Wahid meminta RUU TNI batal disahkan karena tidak memiliki urgensi pembahasan. Hal itu disampaikan Alissa pada konferensi pers Gerakan Nurani Bangsa yang digelar Selasa, (18/03).

“Jadi kalau kami tentu permintaannya dibatalkan, bukan ditunda,” kata Alissa.

Dwifungsi ABRI yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru (Orba) sudah dihapuskan pascareformasi 1998 pada era kepemimpinan Gus Dur. Pada masa itu, Gus Dur juga memisahkan antara tentara dan polisi yang semula bernaung dalam tubuh ABRI atau TNI.

Share.
Leave A Reply