GelitikPolitik.com – Dalam lanskap politik Indonesia yang kerap diwarnai jargon elitis dan retorika formal, Dedi Mulyadi muncul sebagai sosok yang berbeda. Mantan Bupati Purwakarta ini menjelma menjadi figur publik yang lihai memadukan antara kearifan lokal, media sosial, dan komunikasi politik yang membumi.

Lewat kanal YouTube dan platform media sosial lainnya, Dedi menyuguhkan gaya komunikasi yang terasa lebih dekat, menghibur, sekaligus menyentuh sisi kemanusiaan publik.Dalam berbagai kontennya, Dedi kerap terlihat blusukan ke desa-desa, bercengkerama dengan masyarakat kecil, hingga menyelesaikan persoalan sosial secara langsung di lapangan. Ia tidak hadir dengan jas formal dan pidato panjang, melainkan dengan kaos polos dan pendekatan personal.

Cara berkomunikasi ini tidak hanya memperkuat kedekatannya dengan konstituen, tapi juga menciptakan loyalitas emosional yang sulit ditandingi oleh politisi konvensional.

Amrul Haqq, pengamat komunikasi politik dan pendiri GelitikPolitik.com, melihat fenomena ini sebagai representasi dari perubahan paradigma komunikasi politik di era digital.

“Dedi Mulyadi menunjukkan bahwa komunikasi politik hari ini tidak lagi cukup dengan pidato di podium atau baliho di jalan raya. Ia membangun narasi dari bawah, dari realitas rakyat, dan membingkainya dengan storytelling yang otentik. Ini bukan sekadar gaya, tapi strategi komunikasi politik yang relevan di era post-truth dan algoritma.” ujarnya kepada media, Senin, (02/06).

Namun, di balik segala pujian atas gaya komunikasinya yang humanis dan populis, tidak sedikit pula kritik yang bermunculan. Beberapa pihak mempertanyakan motif di balik konten-konten “penolong rakyat” yang terekam dan tersebar luas di media sosial. Ada kekhawatiran bahwa pendekatan ini tak lebih dari panggung politik digital yang mengaburkan batas antara empati tulus dan kalkulasi elektoral.

Dedi juga dinilai terlalu mempersonalisasi peran negara. Ketika ia turun tangan langsung membantu warga miskin, memperbaiki rumah, atau menanggung biaya hidup masyarakat yang kesulitan, publik bersorak—tetapi sebagian pengamat menilai bahwa tindakan-tindakan itu sejatinya adalah fungsi sistem yang seharusnya dibangun melalui kebijakan, bukan semata intervensi personal.

Amrul Haqq mengingatkan pentingnya membedakan antara komunikasi politik yang berorientasi pada performa, dan yang berbasis pada kelembagaan.

“Dalam teori symbolic interactionism, makna politik dibentuk dari interaksi keseharian yang dimediasi simbol dan narasi. Dedi memanfaatkan ini secara cerdas, tapi kita juga harus waspada terhadap jebakan personalized politics yang berlebihan. Politik yang sehat seharusnya memperkuat sistem, bukan hanya figur.” tambahnya.

Ia juga menambahkan bahwa gaya Dedi bisa dilihat sebagai bentuk dari populist political communication, di mana politisi membingkai dirinya sebagai representasi langsung dari ‘rakyat biasa’ dan menihilkan institusi perantara seperti partai atau birokrasi.

“Fenomena ini sejalan dengan teori populisme mediatik, di mana media sosial bukan lagi sekadar alat penyebaran pesan, tapi arena utama pembentukan citra dan legitimasi. Dedi berhasil mengkapitalisasi ‘logika media’ untuk membangun kredibilitas tapi tantangannya adalah: apakah ini akan berlanjut menjadi pembenahan struktur, atau berhenti sebagai impresi visual?” Ujar Amrul.

Kritik lain juga datang dari sisi representasi. Dalam beberapa kasus, konten Dedi yang memperlihatkan warga dalam kondisi menyedihkan kerap disebut mendekati eksploitasi kemiskinan (poverty porn), meski dibungkus dalam niat baik. Ini memunculkan pertanyaan etik seputar batas antara empati, eksposur, dan eksploitasi dalam komunikasi politik digital.Fenomena Dedi Mulyadi menjadi refleksi penting bagi para politisi generasi baru: bahwa komunikasi bukan hanya soal pesan, tapi juga soal cara, konteks, dan relasi.

Di tengah sinisme publik terhadap politik, kehadiran figur yang mampu mengartikulasikan empati dan solusi secara langsung memang menjadi oase yang menyegarkan. Namun, publik juga perlu tetap kritis dan jernih melihat mana yang betul-betul transformasi, dan mana yang sekadar pertunjukan.Dengan gaya yang nyeleneh tapi membumi, konten yang ringan tapi penuh makna, serta narasi yang personal tapi berdampak publik, Dedi Mulyadi membuktikan bahwa komunikasi politik bisa tampil lebih manusiawi dan efektif. Meski begitu, tantangan terbesarnya justru adalah menjadikan gaya tersebut sebagai jalan menuju sistem politik yang lebih adil, bukan sekadar konten viral yang menyentuh tapi cepat dilupakan.

Share.
Leave A Reply