GelitikPolitik.com – Kantor Redaksi TEMPO yang berada di kawasan Palmerah, Jakarta Barat mendapatkan teror kepala babi pada 19 Maret 2025. Selang 3 hari, paket berisi 6 bangkai tikus tiba di markas TEMPO. Alih-alih teror klasik melalui serangan digital yang sering diterima para jurnalis, teror kepala babi merupakan teror konvensional agar menciptakan rasa was-was terhadap targetnya.
“Sebelum-sebelumnya teror memakai serangan digital, penyadapan, intersepsi Pegasus, penggerudukan (kantor) oleh massa, bahkan bom,” kata Bagja Hidayat, Wakil Pemimpin Redaksi TEMPO pada 28 Maret 2025.

Tak lama dari gemparnya teror kepala babi. Pada 22 Maret 2025 Jurnalis dari Newsway.co.id, Juwita yang berusia 23 tahun ditemukan meninggal di kawasan Jalan Gunung Kupang, Banjarbaru, pada Sabtu, 22 Maret 2025. Pembunuhan jurnalis itu diduga dibunuh oleh pacarnya yang merupakan anggota TNI AL Kelas I, Jumran alias J.
Pada kasus ini, Juwita diduga diperkosa sebelum dibunuh. Muhamad Pazri selaku kuasa hukum keluarga Juwita mengungkapkan hal itu. Pazri menyampaikan bahwa keluarga korban berharap agar penyidik dapat melakukan penyidikan yang lebih menyeluruh dengan menelusuri sejumlah petunjuk baru yang mereka sampaikan.
7 April 2025, Ipda E, oknum anggota tim pengamanan protokoler Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menyampaikan permintaan maaf kepada jurnalis foto ANTARA, Makna Zaesar, lantaran melakukan kekerasan saat kunjungan Kapolri di Stasiun Semarang Tawang, Sabtu (05/04).
“Saya menyesal dan menyampaikan permohonan maaf kepada rekan-rekan media atas kejadian di Stasiun Tawang,” Kata Ipda E dikutip Senin (07/04).
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengecam segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis karena kebebasan pers telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
“Komnas HAM mengecam kekerasan terhadap jurnalis dan ini terjadi keberulangan yang kesekian kali,” kata Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Anis Hidayah kepada ANTARA.
- Kocok Ulang Kabinet Prabowo
- Rentetan Kejadian Demo Agustus: Ulah yang Memantik Amarah
- Indonesia Summit 2025: Kolaborasi Lintas Generasi untuk Masa Depan Indonesia
- Jual-Beli Kuota Haji
- Ketok Palu Pemisahan Pemilu
Adakah Sisa Ruang Aman?
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis Siaran Pers pada 9 Februari 2025 yang bertepatan dengan Hari Pers Nasional 2025, guna memastikan adanya jaminan ruang aman bagi jurnalis.
Dalam rilis tersebut ditemukan 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2024. Jumlah ini tertinggi yaitu kekerasan fisik sebanyak 20 kasus dan pembunuhan satu kasus.
Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang mengatakan tren jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis cenderung meningkat. Situasi ini juga turut merentakan jurnalis perempuan di dalamnya.
Jaminan perlindungan terhadap jurnalis khususnya perempuan mendesak direalisasikan. Situasi ini berdampak terhadap kebebasan pers, sementara pemerintah hingga saat ini belum menunjukkan komitmennya mendukung kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi di Indonesia.
Menjelang tiga tahun implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Komnas Perempuan mengapresiasi langkah Dewan Pers yang menerbitkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pers.
Yayasan Tifa sebagai bagian dari Konsorsium Jurnalisme Aman yang didukung oleh Kedutaan Besar Belanda berkolaborasi dengan lembaga survei Populix merilis Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 di kawasan Menteng, Jakarta, pada 28 Maret lalu.
Indeks tersebut menunjukkan angka 59,8 dari 100 atau termasuk kategori agak terlindungi. Angka itu lebih rendah dibandingkan Indeks Kemerdekaan Pers 2023 dari Dewan Pers yang mencatatkan 71,57 atau cukup bebas, namun lebih tinggi dari angka World Press Freedom Index 2023 dari Reporters Without Borders (RSF) yang berada pada angka 54,83.
Temuan lainnya, sebanyak 45 persen jurnalis dari 536 responden mengaku mengalami kekerasan saat bekerja selama 2023, termasuk 49 persen dari 175 perempuan jurnalis yang menjadi responden.
Adapun kekerasan yang paling banyak dialami adalah dalam bentuk pelarangan liputan sebesar 46 persen, dan pelarangan pemberitaan sejumlah 41 persen.
Social Research Manager Populix Nazmi Tamara menjelaskan pihaknya membuat tiga pilar utama dalam menyusun indeks tersebut; yakni individu, pemangku kepentingan dan perusahaan media, serta peran negara dan regulasi.
Sebagai pahlawan pilar demokrasi, jurnalis seharusnya memliki ruang sendiri untuk mencari dan mempublikasi berita tanpa dihantui oleh kekerasan, doxing, teror, bahkan ancaman kematian. Bagaimanapun, keberadaan jurnalis dilindungi Undang-Undang dan kebebasan pers.